Rabu, 11 Januari 2012

Tafsir Senyum Pengamen: Sebuah Kontemplasi Di Awal 2012

Oleh: Mojiono
Beralamat di masmoedji_utm@yahoo.co.id

Hari itu, di awal tahun 2012, nuansa tahun baru masih terasa sangat kental. Beberapa sahabat mengajak saya untuk berkunjung ke sebuah tempat di kota Apel, Malang. Tidak ada ada yang sangat istimewa pada mulanya. Semua rencana berjalan lancar. Sehingga, kami membatalkan rencana bermalam di sana karena semua urusan cepat selesai. Suatu hal yang istimewa justru saya temukan di sepanjang perjalanan yang membentang antara Kamal-Malang. Ini bukan hal baru, namun baru terpikirkan. Kehidupan selalu menyuguhkan aneka peristiwa-peristiwa yang mengguncang hati. Namun, kadang mengundang tawa. Kehidupan pelik dan keras di kota metropolis tentu menjadi bahan terjadinya peristiwa-peristiwa itu.
Saya selalu terpukau dengan para mas-mas dan mbak-mbak yang menjadi pengamen jalanan. Bergelanyut dari bis ke bis, jalan ke jalan, menjajakan suguhan hiburan dari alunan suara gitar yang mereka petik tanpa lelah. Ada juga adik-adik seusia SD-SMP yang juga tidak mau kalah eksis dengan “artis” pengamen jalanan senior mereka. Di sudut jalan mereka naik bis, membagikan amplop kecil bertuliskan: ”Bapak-ibu penumpang, mohon bantuannya untuk membeli buku dan kebutuhan sehari-hari. Besar-kecilnya pemberian anda sangat menentukan masa depan kami. Terima kasih banyak, semoga anda selamat sampai tujuan”. Setelah amplop selesai dibagikan, mereka mulai “menggenjreng”gitar mungil yang sudah usang. Menyanyikan lagu, mulai lagu bernuansa C.I.N.T.A, lagu kritik sosial, dan dangdutan.
Saya juga menjumpai pengamen yang cukup ekstrim. Ayah, Ibu dan Anak ikut mengamen dalam satu bis. Sebetulnya, ini bukan pertunjukan yang lucu. Tapi, inilah kehidupan. Saya hanya bisa mengelus dada. Rekan saya justru melihat dari sudut pandang berbeda. Tidak banyak dia menjumpai sepasang kekasih yang saling setia, dalam kondisi apapun. Mungkin, rekan saya sudah muak dengan adegan cinta yang hanya memamerkan kemesraannya di saat senang saja. Namun, cinta mereka tak sanggup bertahan di saat “badai” kehidupan menerjang bahtera cinta mereka.
Siapapun mereka, pengamen berusaha untuk perform dan tampil prima di hadapan “penggemarnya”. Kadang, mereka berlagak mirip artis, ada juga yang tidak segan-segan melempar banyolan dan guyonan segar untuk me-refresh penumpang. Kalimat pemungkas yang lumrah mereka sampaikan kira-kira begini: “Bapak-ibu penumpang, mohon maaf telah mengganggu perjalanan anda, kami harap bunga-bunga sosial anda, rokok-rokok, permen-permen, hape-hape, tidak menjadi masalah. Relaksa, rela memberi kami tidak memaksa”. Mereka lumuri wajahnya dengan senyum di hadapan penumpang di tengah himpitan masalah ekonomi yang mereka hadapi. Mereka masih sangat beruntung untuk hal ini. Karena, saya prihatin ketika banyak orang yang berduit namun tidak sanggup untuk tersenyum atau tidak ada waktu untuk tersenyum. Katanya: “time is money, not for smile”.
Bicara soal senyum, mari kita coba bahas sedikit yang saya ketahui soal senyum. Tentu berbeda, senyum seorang presiden dan senyum pengamen jalanan. Saya pribadi kagum memiliki presiden yang masih sanggup tersenyum di tengah kecamuk problema bangsa. Senyum presiden sudah terlalu sering “nongol” di layar kaca televisi kita. Entah, senyum presiden di satu sisi menjadi sangat penting untuk rakyatnya agar mereka tahu bahwa pemimpin mereka dalam kondisi baik-baik saja dan masih sanggup melanjutkan pembangunan di negeri ini. Dibalik senyum presiden terdapat harapan untuk hidup lebih baik di negara subur ini. Lantas, bagaimana dengan senyum pengamen? Apa yang penting dari senyum mereka.
Senyum pengamen jalanan mengandung banyak arti dan mengundang tafsir. Inilah tafsirku mengenai senyum mereka. Saya masih terpukau dengan mereka. Meskipun mereka tidak seberuntung saya, bisa mengenyam pendidikan sampai di bangku kuliah. Namun, mereka bukan berarti tidak mendapat pendidikan. Mereka secara tidak sadar juga telah mendapatkan pendidikan. Bahkan, pendidikan mereka jauh lebih “canggih” dari apa yang pernah saya dapat di sekolah. Saya dididik oleh bapak dan ibu guru. Beliau mengajarkan kerja keras, jujur, optimis, disiplin, dan pantang menyerah. Sedangkan mereka dididik oleh pengalaman, oleh lingkungan, oleh pahit getir kehidupan kota metropolitan. Meskipun guru saya dan guru mereka berbeda namun semua guru mengajarkan hal yang sama; kerja keras, jujur, optimis, disiplin, dan pantang menyerah.
Sekolah mencetak lulusan yang pintar dan “jago” menyelesaikan soal-soal di atas kertas. Namun, kehidupan keras kota metropolitan menghasilkan para pengamen-pengamen tangguh yang “tahan banting”, tidak lembek, tidak melempem dan jago tampil di depan publik tanpa mengikuti kursus atau pelatihan public speaking. Padahal, saya banyak menjumpai rekan-rekan mahasiswa yang tidak pede seperti pengamen jalanan. Masih a-i-u-e-o saat tampil di depan umum. Ini tentu memalukan. Apa kata para pengamen jalanan jika melihat mahasiswa masih a-i-u-e-o, padahal dia sudah dilengkapi fasilitas memadai?.
Rekan-rekan yang saya cintai, tulisan ini hanya sedikit berbagi pengalaman. Mungkin saya akan menyebut ini dengan “An Convenient Truth” (seperti judul film global warming yang dibintangi Algore). Siapapun anda, meskipun bukan presiden dan bukan pengamen jalanan, silakan anda tersenyum. Siapa tahu ada yang tertarik untuk menafsirkan senyum anda. Yang jelas, anda dilarang tersenyum tanpa sebab yang jelas, jelas?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Refreshing

Salah satu negara miskin mengirim surat kepada FAO-PBB, isi suratnya sebagai berikut:

"Tuan-tuan, tolonglah kami. Negara kami sedang ditimpa bencana kelaparan... Banyak penduduk kami mati kelaparan. Tolonglah, bantulah kami untuk memecahkan masalah ini."

Seminggu kemudian, datanglah balasan:

"Pemecahannya... Kalau ada rakyat Anda yang kelaparan, beri saja makan secukupnya. Jangan lupa beri vitamin-vitamin yang menyehatkan!"

Penyejuk Hati

Bukan karena kau diperhatikan maka tingkahlakumu menjadi baik, tetapi karena tingkah lakumu yang baik, maka kau diperhatikan....

IELTS IELTS IELTS