Senin, 30 Januari 2012

Aku "Harus" Kaya

Oleh Mojiono
Beralamat di masmoedji.blogspot.com

Ada sedikit hal yang harus diubah mengenai persepsi manusia mengenai kaya. Menjadi kaya tidak harus selalu dianggap kebiasaan orang materialistis (baca: matre). Materialistis memang telah menjadi topik yang tren diperbincangkan. Hampir segala sesuatu dinilai dengan uang. Sampai akhirnya, muncul beberapa istilah yang menjurus pada topik tersebut, antara lain: mata duitan, money oriented dan lainnya. Bicara soal materialistis, sebaiknya cukup sampai di sini saja. Biar orang lain yang akan mengupas lebih dalam. Saya mungkin tidak terlalu pas membahas topik yang satu ini. Barangkali, karena saya bukan tipe laki-laki matre (Amiin...!).
Ok, kita kembali pada topik utama: Aku “Harus” Kaya. Tulisan ini diinspirasi oleh sebuah buku yang ditulis oleh seorang Da’i kondang, Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym. Judul buku tersebut mungkin akan membuat kita sedikit salah paham: “Saya Tidak Ingin Kaya, Tapi Harus Kaya”. Ya, sepintas orang akan berpikir bahwa penulis masuk dalam daftar penggila harta, pemburu harta, atau apalah sebutan yang biasa disandang oleh orang-orang materialistis. Namun, Aa Gym justru ingin menyampaikan pesan yang sungguh amat sederhana namun cukup menyentak dada. Sepertinya isi buku tidak sama dengan pesan yang disampaikan oleh ustadz atau kiai kampung bahwa manusia harus punya sikap qonaah atau merasa cukup atas pemberian Allah SWT. Akan tetapi, jika dikaji dan dipahami dengan hati yang jernih maka ada benarnya kita mengatakan “Aku Harus Kaya”, tanpa mencederai sikap qonaah kita kepada Allah SWT.
Mengapa harus kaya?. Pertama, islam tidak melarang penganutnya untuk menjadi kaya. Bahkan, islam menganjurkan agar umat islam menjadi kaya. Bukankah umat yang kuat lebih utama dibandingkan dengan umat yang lemah?. Tentu kata kuat dalam hal ini tidak hanya berarti kuat secara fisik, namun kuat secara ekonomi, kuat akidahnya, kuat pendidikannya.
Kedua, Rasulullah SAW adalah seorang entrepreneur sukses dan terpercaya di zamannya. Beliau mencontohkan bahwa aktivitas dagangnya akan mendatangkan “kekayaan” yang bisa digunakan oleh beliau untuk kepentingan dakwah. Lha, kalau Rasul-nya miskin, lantas siapakah yang akan membiayai dakwah islam pada zaman tersebut?. Bahkan, beberapa sahabat antara lain Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf juga dikenal sebagai “konglomerat” yang sangat rajin membantu dakwah islam melalui kekuatan ekonominya yang kokoh. Kekuatan ekonomi yang kokoh tidak hanya bermanfaat untuk pendanaan kegiatan dakwah, namun berarti bahwa ekonomi yang kuat akan terhindar dari penindasan.
Ketiga, manusia telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Tidak hanya manusia, bahkan mahluk jelata pun telah dijamin rezekinya. Akan tetapi, manusia harus lebih terampil menjemput rezeki. Karena, pada dasarnya, rezeki dibagi menjadi 3 jenis.
a. Rezeki yang dijamin. Al Qur’an telah menyebutkan secara khusus mengenai rezeki yang dijamin ini, yaitu: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. Hud [11]: 6). Oleh karena itu, asalkan kita mau peras keringat banting tulang, maka rezeki itu pasti ada untuk kita. Karena Allah SWT telah menjamin untuk kita. Bayi yang masih ada di dalam kandungan juga telah dijamin rezekinya.
b. Rezeki yang digantungkan. Rezeki ini harus dijemput dengan cara yang terampil agar bisa diperoleh. Manusia yang mudah “pasrah”, tanpa ikhtiar yang memadai, maka dia tidak akan memperoleh rezeki ini. Dalam Al Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’d [13]: 11).
c. Rezeki yang dijanjikan. Analogi rezeki ini seperti kolam berisi air yang selalu terisi penuh meski airnya di ambil berkali-kali. Kolam untuk menampung air boleh saja kecil, namun selalu ada sumber air yang tiada henti mengisi kolam tersebut. Sehingga, meskipun air dalam kolam tersebut diambil berkali-kali, air dalam kolam tidak pernah kering dan habis. Inilah perumpamaan rezeki manusia yang pandai bersyukur, tidak akan pernah habis meskipun dibagi-bagikan. Justru akan bertambah, bertambah dan bertambah. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim [14]: 7).
Maka, saya pribadi mulai mengubah cara pandang saya mengenai kaya. Saya tidak ingin miskin. Di mana-mana, miskin selalu tidak nyaman, tertindas oleh si kaya. Oleh karena itu, menjadi kaya telah berubah menjadi suatu keharusan, bukan lagi sekedar keinginan. Kalau sekedar ingin, maka siapapun bisa. Namun, memilih untuk harus kaya juga bukan pilihan mudah. Pilihan ini harus diimbangi dengan ikhtiar yang kokoh, doa yang khusyu’, dan keyakinan yang mantab. Saya yakin, bahwa Allah Yang Maha Kaya akan memberikan apa yang hamba-Nya butuhkan untuk berhasil. Semoga, tulisan ini juga menjadi salah satu penyempurna ikhtiar saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Refreshing

Salah satu negara miskin mengirim surat kepada FAO-PBB, isi suratnya sebagai berikut:

"Tuan-tuan, tolonglah kami. Negara kami sedang ditimpa bencana kelaparan... Banyak penduduk kami mati kelaparan. Tolonglah, bantulah kami untuk memecahkan masalah ini."

Seminggu kemudian, datanglah balasan:

"Pemecahannya... Kalau ada rakyat Anda yang kelaparan, beri saja makan secukupnya. Jangan lupa beri vitamin-vitamin yang menyehatkan!"

Penyejuk Hati

Bukan karena kau diperhatikan maka tingkahlakumu menjadi baik, tetapi karena tingkah lakumu yang baik, maka kau diperhatikan....

IELTS IELTS IELTS